MUARA DAN MUASAL
Puisi Wisława Szymborska
Setelah perang berakhir
seseorang harus membersihkan yang tersisa
Bagaimanapun banyak perkara yang tak bisa
membenahi dirinya sendiri.
Seseorang harus menyingkirkan reruntuhan
ke tepian jalan
untuk memberi lewat
gerobak-gerobak yang penuh mayat.
Seseorang harus rela memerosok
ke tumpukan kekam dan abu-debu,
pegas bekas kursi sofa,
kecai-kaca,
dan kain-kain berlumur darah.
Seseorang harus menyeret sebuah balok
untuk menopang ambruk tembok
Seseorang harus mengelap kaca jendela,
mengengsel kembali pintu yang lepas.
Memang tak layak untuk dipotret,
pun akan menghabiskan bertahun-tahun.
Semua kamera telah pergi
untuk perang yang lain.
Kita butuh jembatan itu merentang lagi,
dan stasiun-stasiun kereta yang baru.
Lengan baju biarlah jadi compang-camping
untuk mengembalikan itu semua ke semula.
Seseorang, dengan sapu di tangannya,
berusaha mengingat mula peristiwa itu.
Seseorang lain mendengarkan
angguk kepalanya seperti hampir putus.
Namun mereka yang di sana
mulai mengisarkan sesuatu yang
kelak dianggap usang.
Keluar dari semak-semak
kadang, seseorang masih menggali
percekcokan yang berkarat
dan membawanya ke onggokan sampah.
Mereka yang mengetahui
apa yang terjadi di sini
harus melapangkan jalan, bagi
mereka yang tahu sedikit sebab.
Yang tahu lebih sedikit dari itu.
Hingga yang tak tahu apa-apa.
Di rerumputan yang mengilalangkan
sebab-sebab dan akibatnya,
seseorang harus mengulurkan
tajam rumput di mulutnya
menatap ke gulungan awan-awan.
TAK ADA YANG DUA KALI
Tak ada yang pernah terjadi dua kali
semua itu karena, kenyataan
bahwa kita hidup seadanya saja
kemudian meninggal tanpa kesempatan berbenah
Bahkan jika tak ada seorang bodoh
dan kemudian kamu menjadi orang paling bodoh di planet ini
kau tak akan pernah mengulang kelas di musim panas
kelas ini hanya sekali saja
Hari ini tak pernah disalin dari hari kemarin
tak ada dua malam yang akan mengajarkan kebahagiaan
di cara yang persis sama
juga dengan ciuman yang benar-benar sama
Suatu hari, mungkin, sejumlah lidah bermalasan
menyebut nama-nama dengan tak sengaja
lalu aku serasa bunga mawar yang dilemparkan
dalam ruangan, seluruh aroma dan warna
Di hari selanjutnya, meski kau bersamaku
aku tak bisa membantumu melihat jam
Setangkai mawar? Setangkai mawar? Akan jadi apa?
Apakah bunga atau sebuah batu?
Mengapa kita memperlakukan hari sekilas
dengan begitu banyak ketakutan yang tidak perlu dan kesedihan?
Ada dalam sifatnya tidak tetap:
Hari ini selalu pergi besok.
Dengan senyum dan ciuman, kita lebih senang
untuk mencari kesepakatan di bawah bintang kita,
meskipun kita berbeda kemudian setuju
seperti dua tetes air.
PENYAIR DI USIA TUJUH PULUH
Puisi Czeslaw Milosz
Demikian, kawan teolog, di sinilah kau,
Pecandu surga dan neraka,
Tahun demi tahun sempurnakan senimu,
Memburu kebijaksanaan buat induk semangmu,
Hanya demi mendapati dirimu berkelana di kegelapan:
Duh, dihina sampai ke tulang
Oleh muslihat memperdaya akal sehat,
Kau mencari damai di rumah manusia
Namun mereka, seperti perahu layar, meluncur jauh,
Tujuan dan labuhan mereka, aduh, tidak tertempuh.
Kau duduk di kedai minum anggur,
Gembira tersebab riuh dan hiruk-pikuknya,
Suara bergemuruh lantas lesap
Seperti bila ditimbulkan dari mesin
Dan kauterima pengasinganmu.
Di bumi malang tanpa ada waktu untuk bersedih,
Ramuan cinta tiap musim semi sedang diracik,
Kendati nyanyian prapaskah meningkah senandungmu.
Demikian kau belajar cara memaafkan.
Rakus, remeh, dan linglung
Seperti bila waktumu tanpa ujung
Kau berlari-lari dan teriak bangga
Panggung di mana daging berpura-pura
Memenangkan permainan siang dan malam.
Dalam bulu-bulu dan sisik buat terbang dan merangkak,
Memakai maskara, gaun lembut,
Mencoba bertingkah bak binantang dan unggas,
Melupakan ruang antar bintang:
Cobalah, filosofku, dunia ini.
Lalu semua kebijaksanaanmu ‘kan hilang arti
Meskipun bertahun kau berjuang tanpa henti
Hanya satu hadiah dan piala:
Kebahagiaanmu: hidup
Dan berduka, hidupmu jelang binasa.
LAGU TENTANG HARI KIAMAT
Pada hari kiamat
Seekor lebah mengitari sekumtum bunga,
Seorang nelayan menambal jalanya kemerlapan.
Lumba-lumba bahagia berloncatan di laut,
Sekawanan burung gereja bercanda di bekas hujan,
Dan ular bersisik keemasan sebagaimana mestinya.
Pada hari kiamat,
Ibu-ibu melintasi padang dengan payung di tangan,
Seorang pemabuk mengantuk di tepi rumputan,
Penjual sayur berteriak di sepanjang jalan,
Dan sebuah perahu layar-kuning menghampiri pulau,
Suara biola bergetar di udara tenang
Dan menyusup ke malam berbintang.
Dan mereka yang mengharapkan kilat dan guruh
Pasti kecewa.
Dan mereka yang mengharapkan perlambang dan terompet malaikat
Tak percaya apa yang terjadi kini.
Selama matahari dan bulan di atas sana,
Selama lebah menghampiri mawar,
Selama bayi-bayi sehat dilahirkan,
Tak ada yang mempercayai apa yang terjadi kini.
Hanya seorang lelaki berambut putih, yang mestinya rasul,
Namun bukan rasul–sebab ia terlampau sibuk bekerja.
Berkata berulang kali sambil mengikat tomat-tomatnya:
Tak akan ada hari kiamat lain,
Tak akan ada hari kiamat lain.
MARIA WISŁAWA ANNA SZYMBORSKA adalah penulis (penyair), eseis, kritikus sastra dan penerjemah sastra Prancis dari Polandia. Pada tahun 1996 Szymborska dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra. Szymborska lahir di Bnin dekat Poznań di Polandia.
CZESŁAW MIŁOSZ adalah seorang sastrawan berkewarganegaraan Polandia-Amerika Serikat yang menerima Hadiah Nobel Sastra pada 1980. Ia lahir di Šeteniai, Lituania dari keluarga Polandia. Pada masa kecilnya, ia pernah tinggal di Rusia pada masa sekitar revolusi.