Radar Banten, 16 Juli 2013

Seperti telah sama-sama kita tahu, lazimnya bulan Ramadhan adalah bulan di mana kita “diajarkan” untuk menahan diri sekaligus mengolah kepekaan kita sembari meningkatkan kesalehan individual kita sebagai muslim kepada Tuhan sekaligus kepada sesama kita. Sebagai contoh, rasa lapar dan haus kita ketika berpuasa menyiratkan kita untuk bersimpati kepada mereka yang mungkin setiap hari merasakan lapar dan haus karena kepapaan mereka. Hingga seringkali dikatakan bahwa salah-satu spirit dan ajaran yang terkandung dalam puasa Ramadhan adalah nilai dan ajaran solidaritas kita kepada mereka yang kurang beruntung dalam hidup sehari-hari mereka.

Rasa lapar dan haus selama kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan, dengan demikian, tak diragukan lagi menyiratkan spirit empati dan simpati kepada orang-orang miskin. Dan itulah sebabnya, kenapa ketika menjelang hari raya Idul Fitri, kita diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah, yang salah-satunya diperuntukkan bagi orang-orang yang kurang mampu. Inilah salah-satu aspek ajaran dan nilai solidaritas yang terkandung dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Sejalan dengan nilai dan ajaran solidaritas yang terkandung dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan itu, nilai dan ajaran yang lain yang terkandung dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah sikap kita menahan diri dari perilaku konsumtif yang berlebih-lebihan alias menghindari diri menjadi orang-orang yang musrifin alias menghindari kebiasaan bersikap mubajir. Dengan kata lain, nilai dan spirit Ramadhan salah-satunya adalah mengerem sikap konsumerisme kita yang terlampau berlebihan di saat banyak saudara-saudara kita yang mengalami kekurangan dalam hidup mereka.

Namun, acapkali bulan Ramadhan juga dipenuhi dengan hal-hal yang sifatnya artifisial alias seremonial belaka. Semisal meruaknya hal-hal yang sifatnya hanya selebrasi semata, seperti ditunjukkan dalam sejumlah tayangan selama bulan Ramadhan di televisi-televisi kita. Meskipun tak sepenuhnya keliru, karena di samping ada juga hikmah dakwah dan syiar Islamnya dalam tayangan-tayangan selama bulan Ramadhan di stasiun-stasiun televisi kita itu, tak jarang juga hanya terjebak menjadi sekian hipokrisi dan kepura-puraan.

Hipokrisi Keagamaan Selebriti

Memang, meski tak mesti dipandang sebagai sebuah “aksioma kebenaran”, tayangan-tayangan televisi kita selama bulan Ramadhan dapatlah dilihat sebagai fenomena di mana kehidupan dan aktivitas keberagamaan tak ubahnya sebagai “trend musiman”. Sekali lagi, pasar yang dalam hal ini adalah motif dan hasrat untuk mencari keuntungan, mendapatkan momentumnya.

Di bulan Ramadhan pula, biasanya, para selebritis yang sedang digandrungi dan digemari publik, contohnya, tentulah dapat menikmati hasil dari bulan yang penuh “berkah” ini. Sebab, bulan Ramadhan dapat menambah pendapatan para selebrities yang tengah naik daun itu dengan cukup berpura-pura semakin Islami selama bulan Ramadhan. Tak peduli seperti apa mereka setelah dan sebelumnya.

Di sana, sikap-sikap kesalehan, yang tak ubahnya trend musiman itu, tak lebih sebagai upaya komodifikasi pencitraan yang acapkali memang manipulatif. Demikian, yang ada di sana adalah keriuhan dan glamorisme dalam skala dan bentuknya yang lain. Dalam konteks itu, kesalehan dalam pengertian “keheningan” dan sikap-sikap religius yang sifatnya privat, sebenarnya sudah tidak ada.

Tentu saja, sebagaimana politik-representasi media dalam fenomena dan strategi budaya massa, citra dan representasi tak mesti menyingkapkan hal yang sebenarnya. Dalam konteks di bulan Ramadhan ini, agama yang dalam hal ini adalah Islam telah dijadikan sebagai sejumlah komoditas dalam arti yang sungguh-sungguh dan dalam skala yang bisa dibilang cukup massif.

Ironi Konsumerisme

Rupa-rupanya, di pasar dan media-media yang berusaha mengejar rating itu, apa pun bisa dijual dan dieksploitasi sebagai komoditas, yang dalam hal ini tentu saja sikap-sikap keberagamaan di bulan Ramadhan dalam tayangan-tayangan televisi kita itu. Sementara, jauh dari balik realitas pencitraan media massa itu, ada banyak kehidupan yang kurang beruntung di sejumlah sudut kota yang kumuh.

Dengan demikian dapatlah dikatakan, yang menjadi “berkah” dalam artian material sebagaimana bagi para selebritis dan media-media massa itu, bukanlah kesalehan dalam artian yang privat dan personal. Melainkan hipokritas yang disulap menjadi sekian komoditas melalui sejumlah tayangan dan reality show yang tiba-tiba “berbau” keagamaan. Meski, tentu saja, tak menyingkapkan kesalehan yang sesungguhnya.

Di bulan Ramadhan pula, kita tiba-tiba bisa menjumpai wajah-wajah baru para da’i instan dengan modus-modus retorik yang seragam dan semakin mengukuhkan “sikap-sikap” keagamaan yang permukaan atawa artifisial semata. Meskipun kita akui di sana hadir juga sejumlah pakar yang segera dibaptis menjadi intelektual publik.

Bersamaan dengan itu, menjamur lah sejumlah iklan dan produk-produk budaya massa yang juga tiba-tiba begitu Islami. Rupanya, di bulan Ramadhan lah, pasar a la media-media massa elektronik itu semakin menjadi riuh sebagai arena “penjualan” agama dalam skala yang cukup massif.

Namun sayangnya, agama yang dijual di sana, ternyata lebih merupakan repetisi artifisial dari rutinitas itu sendiri. Alias sikap-sikap keberagamaan yang dieksplorasi dan direpresentasikan sebagai tak lebih rutinitas birokratis demi mengejar rating dan keuntungan, yang kali ini adalah strategi komodifikasi dan penjualan produk-produk budaya massa.

Dalam hal ini, “religiusitas” adalah hipokrisi dan pencitraan itu sendiri, yang memang disengaja demi menciptakan pasar dan meraih keuntungan material di bulan yang penuh “berkah” bagi yang satu dan menjadi kisah “kemalangan” bagi mereka yang lainnya. Dan mungkin, kesalehan yang sebenarnya, adalah apa yang tak diceritakan dan ditampilkan oleh tayangan-tayangan televisi atau yang tak diujarkan oleh para da’i-da’i instan yang tiba-tiba menjadi pakar dalam segala hal secara tiba-tiba itu.

Tentu saja, seperti telah sama-sama kita tahu bersama, sikap kepura-puraan alias hipokrisi dan konsumerisme yang berlebihan tersebut akan turut mencederai ibadah puasa Ramadhan kita. Sebab, seperti juga telah kita maphumi, selain mengandung ajaran untuk menahan diri dan mengandung spirit solidaritas kepada sesama, ibadah puasa di bulan Ramadhan juga pada akhirnya adalah kejujuran dan tanggungjawab kita sendiri yang sifatnya private alias berhubungan langsung antara kita dan Tuhan kita yang mewajibkan dan mensyariatkan ibadah puasa di bulan Ramadhan itu sendiri.

Jika demikian, tak diragukan lagi, salah-satu hikmah Ramadhan untuk menahan diri dan meningkatkan kesalehan kita itu, seperti telah disebutkan dan telah kita ketahui bersama, salah-satunya adalah meningkatnya kepekaan dan solidaritas kepada mereka yang kurang beruntung, yang berarti juga sikap konsumerisme yang berlebihan malah akan memunculkan kesenjangan dan kecemburuan di antara kita selama bulan Ramadhan. Semoga dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan, kita menjadi pribadi yang saleh secara individual dan sekaligus saleh secara sosial sebagaimana terkandung dalam ajaran dan nilai ibadah puasa di bulan Ramadhan itu sendiri. Amin! (Sulaiman Djaya)