Tag

, , ,

Muslim Syi'ah dan al Qur'an

Radar Banten, 15 Mei 2015

Sampai saat ini masih ada saja kelompok-kelompok yang mengusung isu khilafah dan merongrong ideologi Pancasila yang dapat merangkul semua elemen bangsa. Menurut penulis, kelompok-kelompok tersebut dapat saja dikatakan sebagai kaum literalis dan verbalis, yang mengingatkan penulis kepada riwayat Imam Ali dan kaum Khawarij di jaman Islam awal itu, yang dapat menginformasikan kepada kita tentang agama dan politik secara substantif atau tidak sekedar isu retorik semata.

Kala itu, ketika kemenangan pasukan Imam Ali sejengkal lagi tercapai, pasukan Amr bin Ash mengangkat al Qur’an dengan ujung-ujung tombak mereka, dan sebagian pasukan Imam Ali (yang kelak menjadi kelompok Khawarij) menyatakan “kami tidak akan melawan kitab Allah”. Imam Ali mengingatkan: “al Qur’an apa yang kalian anggap suci? Al Qur’an yang ada di atas bendera-nya Amr bin Ash (yang melawan al Qur’an dengan mengatasnamakan al Qur’an) itu hanyalah kertas dan tinta. Al Qur’an adalah seruan dan penjelasan, kapan pun kalian mengamalkan al Qur’an maka itulah al Qur’an. Al Qur’an ada ketika risalah, penjelasan, dan pengamalannya ada. Al Qur’an adalah kalamullah, bukan kertas dan tinta. Kalimatul haq, yurodu biha bathil (pernyataan Amr bin Ash benar, tapi maksudnya bathil)”. Maka, jangan heran, jika banyak orang menistakan agama justru dengan mengatasnamakan agama (sebagaimana yang dilakukan Amr bin Ash), sementara di sisi lain banyak orang yang hanya terjebak simbol luaran semata (sebagaimana kaum Khawarij).

Demikianlah, karena bermaksud mengecoh pasukan pimpinan Malik Ashtar dalam Perang Shiffin tersebut, pasukan Muawwiyah bin Abu Sufyan mengangkat al Qur’an di ujung-ujung tombak, dan mereka berkata “Baynana wa baynakum al Qur’an” (Di antara kami dan kalian ada al Qur’an). Namun Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah tidak mau pasukannya tertipu oleh siasat tersebut, hingga mengingatkan pasukannya: “Kaalimatul haq yurodu biha bathil” (ucapan mereka benar, tapi maksud mereka adalah bathil). Pasukan Muawwiyah itulah, sebagaimana ISIS di jaman sekarang ini adalah contoh-contoh orang-orang yang membajak (memolitiskan) Islam alias “menjual” agama demi kekuasaan mereka yang bahkan acapkali justru bertentangan dengan agama (Islam) itu sendiri.

Ilustrasi di atas sekedar ingin meringkas bahwa dalam isu Islam dan politik, ada tiga jenis manusia dan golongan (kaum muslim). Pertama, ada orang-orang “yang memolitiskan (membajak) Islam” seperti ISIS belakangan ini. Kedua, ada kelompok yang hanya memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin di-Islamkan. Dan yang ketiga, adalah Islam dan politik sebagai “etika” (akhlaq) dan “ruh” Islam yang berasaskan “keadilan” bagi semua yang teladannya adalah Rasulullah dan washi-nya, yaitu Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah.

Memang, secara umum, kita selama ini menerima sebuah pandangan yang mengatakan bahwa Islam dan politik adalah dua hal yang bertentangan, sebuah pandangan yang diekspose oleh kaum akademis dan politikus Barat. Misalnya dikatakan bahwa politik itu kotor dan menghalalkan segala cara, sementara di sisi lain kita harus menjaga kesucian atau kefitrian Islam dari upaya politisasi tersebut. Namun, sebagaimana ilustrasi tentang perbedaan antara Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dan Muawwiyah bin Abu Sufyan dalam perang Siffin itu, sebenarnya kita mendapatkan pemahaman yang integral tentang Islam dan politik bahkan tentang Islam dan Negara. Di tangan Imam Ali, contohnya, spirit dan ajaran Islam dan politik menjadi berpadu dan saling menguatkan, seumpama saudara kembar, sebagai dua hal yang esensinya adalah padu.

Integralitas dan kepaduan ini karena Islam mencakup ajaran dan nilai-nilai yang berkenaan dengan yang individual dan yang sosial itu sendiri. Sayyid Husein Nasr, misalnya, menyatakan bahwa Islam adalah agama kesatuan, tauhid, dan segenap fungsinya, entah itu fungsi duniawi (temporal) atau fungsi spiritual, agama yang memadukan otoritas duniawi dan ukhrawi (spiritual) secara bersamaan dan tak terpisahkan. Sementara itu, terkait dengan kapasitas dan kejeniusan Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah sebagai pemimpin dan negarawan, Sayid Husain Muhammad Jafri mengatakan bahwa selain sebagai washi-nya Rasulullah dan pintu ilmunya Rasulullah, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah adalah seorang administrator ulung dan telah berhasil menerapkan administrasi dan birokrasi yang diisi oleh orang-orang profesional dan tidak korup, tidak seperti ketika ummat Islam berada dalam kepemimpinan sebelumnya yang banyak menempatkan orang-orang yang korup dan tidak cakap hingga menciptakan krisis yang akut bagi pemerintahan Islam dan di kalangan masyarakat muslim. Tak cuma itu, sebagaimana Rasulullah, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah adalah contoh pemimpin yang turun langsung dan bisa menjadi panglima perang di saat-saat genting.

Di masa-masa kepemimpinannya-lah, demikian sebagaimana dinyatakan Sayid Husain Muhammad Jafri, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah telah menghidupkan kembali sunnah Nabi Muhammad saw dan syari’at Islam yang sesungguhnya setelah sebelumnya banyak dilanggar para pejabat pemerintahan Islam. Sementara itu, bagi seluruh kaum yang tak hanya ummat Islam alias bagi non-muslim, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah telah berhasil menerapkan prinsip-prinsip humanitarianisme atau komitmen untuk meningkatkan taraf hidup orang lain, prinsip egalitarianisme atau memerangi ketidakadilan, serta menerapkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi.

Begitu pun, yang berkat didikan Rasulullah sejak usia 6 tahun, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah juga dikenal sebagai pemimpin yang visioner dan berani mengambil resiko. Jika kita baca tarikh (sejarah), kita akan tahu bahwa Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah senantiasa tegar dan langsung menjadi panglima ketika harus menghadapi kelompok-kelompok yang tidak suka gerakan dan politik reformasinya. Sedangkan dari sisi integritasnya, beliau dikenal sebagai pemimpin yang zuhud dan bersahaja. Beliau adalah juga seorang pemimpin dan negarawan yang mengetahui benar macam-macam atau ragam golongan rakyat, sebagaimana tercermin dalam surat beliau yang ditujukan untuk Gubernurnya yang bernama Malik Ashtar: “Di antara rakyat, tak ada yang lebih sulit dihadapi oleh gubernur selain kaum elite, karena kaum elite senantiasa meminta keistimewaan”.

Dan di atas semua itu, saran dan nasihat beliau yang paling berharga kepada Malik Ashtar tersebut adalah soal orang-orang seperti apa saja dan orang-orang yang bagaimana yang layak untuk diangkat menjadi pejabat: “Angkatlah untuk menjadi pejabat-pejabat tinggimu orang-orang yang tak pernah membantu tiran dan tak pernah membantu orang-orang yang melanggar hukum agama dalam kezaliman dan dosanya. Orang-orang seperti ini tidak akan merepotkanmu, lebih memenuhi syarat untuk membantumu, sebagai sahabat lebih perhatian padamu, lebih berdedikasi padamu. Oleh karena itu, pilihlah orang-orang seperti itu untuk menjadi sahabatmu, baik sebagai sahabat pribadi maupun sebagai sahabat dalam mengelola pemerintahan.”

Sedangkan tentang bagaimana memimpin dan bagaimana memperlakukan rakyat, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berpesan kepada Malik Ashtar: “Jadikan hatimu sesuatu yang kaya dengan sifat murah hati dan kasih-sayang terhadap rakyatmu. Jangan-lah kamu seperti binatang buas yang suka menelan mereka. Sebab rakyatmu ada dua golongan: rakyat yang seiman dan rakyat yang sama sosoknya denganmu (yaitu sama-sama manusia)”.

Sulaiman Djaya

Menyoal Isu Khilafah